Menyorot Lokalitas Budaya Madura dalam Cerita Pendek

Muna Masyari dikenal sebagai cerpenis muda berbakat yang karya-karyanya begitu kental dengan lokalitas budaya Madura. Perempuan yang lahir di Pamekasan, Madura 26 Desember 1985, ini bahkan pernah dinobatkan sebagai cerpenis terbaik Kompas 2017 silam, atas cerita pendek (cerpen) karyanya yang berjudul Kasur Tanah. Sebuah cerpen yang juga sangat khas dengan budaya Madura.

Buku ini merupakan solo pertamanya, berisi 17 cerpen yang telah tersiar di berbagai media cetak, lokal hingga nasional, seperti Suara Merdeka, Radar Surabaya, Kompas, Jawa Pos, Tempo, Horison, dan lain sebagainya. Sengaja diberi judul “Martabat Kematian” karena cerpen-cerpen di buku ini hampir semua berbicara tentang kematian. Di Madura, terkadang kematian tak lebih menakutkan daripada rasa malu. Orang tidak merasa takut mati asal martabat terjaga.

Bahkan, begitu tingginya menjaga martabat saat hidup di dunia, sampai-sampai ada semacam “slogan” atau ungkapan khas dari masyarakat Madura: Etembhang pote mata lebbi bhagus pote tolang (daripada putih mata lebih baik putih tulang, daripada menanggung malu lebih baik mati berkalang tanah). Rupanya, slogan tersebut menjadi semacam kegelisahan bagi Muna Masyari dan berusaha ia labuhkan dalam cerpen-cerpennya.

Pemesan Batik, merupakan salah satu cerpen yang berupaya mengkritisi tentang begitu tingginya menjaga martabat di atas segala-galanya. Cerpen ini sekaligus mengenalkan ragam jenis batik khas Madura, seperti Sagarah, Gentongan, Kembhang Saladri, Kerraban Sape. Cerpen berkisah tentang dendam seorang lelaki yang takkan pernah terobati kecuali setelah melampiaskan pada istrinya yang main serong dengan lelaki lain. Martabatnya sebagai suami yang banting tulang siang malam di negeri orang sontak tercabik-cabik saat mendapati istrinya di rumah berlabuh ke lain tubuh.

Dendam kian membara saat melihat istrinya lebih memilih selingkuhannya dan rela dinikahinya. Balas dendam adalah cara terbaik untuk menjunjung tinggi martabatnya sebagai seorang lelaki, sekaligus melampiaskan kemarahan pada mantan istrinya. Namun, ia ingin membalas dendam dengan cara elegan; memberi kado pernikahan berupa kain batik. Kepada seorang perempuan yang selama ini masyhur membatik kain segala jenis acara, ia memesan batik dengan corak yang mewakili perasaannya. Kepada perempuan pembatik yang sebenarnya sangat merasa keberatan dengan pesanan batik yang disulut kesumat tersebut, ia menegaskan, “Kain batik itu bukan sekadar hadiah pernikahan, ia berupa surat pesan, jadi harus selesai dalam sebulan! Jangan sampai terlambat!” (halaman 84).

Cerpen berjudul Martabat juga mengkritisi lokalitas budaya Madura yang menjunjung martabat di atas segalanya. Dalam cerpen ini, tokoh utama merupakan lelaki keturunan ningrat, keluarga kiai, yang jatuh hati pada perempuan yang berprofesi sebagai tanda’ (penyanyi perempuan atau ronggeng). Sejak lama mereka berdua saling jatuh cinta. Sayangnya, sang ibu sangat keberatan dan tak merestui keinginan putranya yang ingin melamar dan menikahi perempuan ronggeng.

Ketidaksetujuan sang ibu jelas karena martabatnya sebagai keluarga kiai akan tercoreng bila sampai memiliki menantu perempuan yang gemar melenggak-lenggokkan badan di berbagai acara pesta, seperti pesta pernikahan dan rokat tase’ (larung laut atau selamatan untuk laut). Tak hanya melenggak-lenggokkan tubuh, sebagai ronggeng ia juga kerap membiarkan kutangnya dijejali rupiah oleh banyak tangan lelaki. Sang ibu lantas mengancam putranya, “Kalau kau tetap memilihnya, seumur hidup aku tidak ingin melihat wajahnya,” (halaman 120).

Tak dinyana, ucapan sang ibu justru menjadi doa yang terkabulkan. Saat sang anak nekat menikahi perempuan tanda’ tersebut, si ibu tak pernah bisa melihat wajah sang menantu karena suatu penyakit yang kemudian menyebabkannya buta. Cerpen-cerpen bernuansa budaya lokal khas Madura lainnya yang bisa dinikmati dalam buku ini antara lain; Celurit Warisan, Dukka Ronjangan, Rokat Salera, Are’ Lancor, Matinya Dhamar Kembang, dan lain sebagainya.

Cerpen-cerpen karya cerpenis yang mukim di Pamekasan dengan ciri budaya lokal ini sangat layak diapresiasi dan merupakan (meminjam ucapan Agus Noor dalam endorsement-nya) upaya sekaligus kesadaran agar sastra Indonesia tidak terlalu “kebarat-baratan”.

Pernah dimuat di Koran Harian Analisa, 17 April 2019